Rabu, 23 Desember 2009

Inspirasi dan anomali inspirator

Tiga tahun hidup di lingkungan di mana kepemimpinan sangat dipupuk membuat pikiranku terpaku akan kepemimpinan itu sendiri. Terpaku akan kategori inspirator-inspirator yang bisa memperngaruhi hidup dan pola pikirku. Sebut saja dua orang yang paling menginspirasi dalam hidup ini : Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara di kabinet Indonesia Bersatu : Bapak Taufik Effendi. Bagiku, mereka adalah orang yang memiliki visi, memiliki kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang luar biasa, dan dapat menjadi panutan – setidaknya dalam bidang manajemen dan visi hidup.

Sehingga, setidaknya sampai tingkat pertama kuliahku di Teknik Informatika ITB, aku masih menganggap sosok inspirational adalah sosok pemimpin, sosok yang memiliki visi hidup jauh ke depan. Belum lagi orang yang sangat kuhormati di SMAku adalah orang yang mapan agamanya. Sehingga bagiku, orang yang patut menjadi inspirasi bagiku – atau setidaknya teladan adalah mereka yang agamanya baik, sosok pemimpin yang mapan, dan sosok manajer. Tidaklah masuk hitungan bagiku mereka yang berada di luar itu, apalagi mereka yang tidak dapat bicara dengan baik di depan publik, introvert, egois, dan selalu mementingkan misi pribadinya yang sesaat. Apalagi mereka yang tidak memiliki kemampuan manajerial – ah, bagiku mereka hanyalah pelengkap hidup. Aku tidak pernah memandang mereka sebagai seorang yang bisa menjadi inspirasi bagiku. Apalagi mengubah pola pikirku tentang hidup dan kehidupan.

Tapi tahukah kau kawan, semua pandanganku itu berubah, ya berubah total ketika aku secara tidak sengaja menjadi dekat dengan seseorang di semester keempatku di informatika. Seorang sosok yang sekilas introvert, egois, masa bodoh-an. Bagiku yang telah mengenyam pendidikan manjarial kental di SMA di bawah kaki bukit tidar di Magelang, dirinya sama sekali tidak memiliki kemampuan manajerial, apalagi hanya untuk mengatur waktu tidurnya. Sosok itu sama sekali bertolak belakang dengan sosok yang inspirasional bagiku. Jauh dari hitungan. Mungkin dari semilyar penduduk bumi, dia adalah orang ke semilyar kurang satu yang menjadi prioritasku untuk dapat aku jadikan sumber inspirasi bagiku.

Aku menemukan kesederhanaan pola pikirnya. Pola pikir yang sederhana itulah yang membuatnya justru menjadi istimewa. Tidak memiliki impian yang pasti, setiap langkah kaki dalam hidupnya sesekali ditemani oleh beberapa rokaat solat istikhoroh ibunya, atau dirinya sendiri. Namun sekali lagi, tanpa arah dan tujuan. Sepertinya takdirlah yang membawanya menuju apa yang terbaik bagi dirinya. Sangat jauh berbeda dengan seorang Taufik Effendi yang bermimpi menjadi seorang menteri ketika kecil atau ketua angkatanku di SMA yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi free tanpa harus masuk ke akademi militer – salah tempat yang konon menjadi tempat tersekuler di Indonesia saat ini. Mereka berdua memiliki visi, dan dengan visi itulah mereka telah menetapkan hidupnya untuk berhasil. Dan saya yakin keberhasilan itu akan berada di pihak mereka.

Terus terang, aku tak mengerti bagaimana seseorang bisa bertahan hidup tanpa adanya sebuah mimpi besar yang ingin diraihnya. Bagaimana seseorang yang bertahan hidup dengan cara yang – setidaknya menurutku menyeramkan justru menjadi inspirasi bagiku. Nah, kawan, tentu kalian bertanya-tanya di bagian manakah dia memberiku inspirasi

1. Aku adalah seorang yang sangat labil. Keinginan dan mimpiku banyak, tapi aku tidak pernah bisa meraihnya sendiri. Aku selalu membutuhkan seseorang yang mendorongku untuk mencapainya. Aku ingat, ketika SMA impianku untuk keluar negeri didorong oleh guru SMAku, Bapak Amin Sukarjo. Ketika SMP, aku masuk akselerasi atas dorongan dari ibuku. Nah, universitas? Terus terang aku belum punya. Dan aku menyaksikan saudaraku itu bisa berdiri sendiri tanpa ada seorang manusia pun yang menopang dirinya. Dalam hal kecil tentu saja, namun hal kecil yang justru tidak bisa aku raih. Aneh, memang aku telah meraih hal-hal besar. Tapi aku bertanya-tanya kepada diriku, ternyata hal-hal kecil justru aku belum meraihnya.

Yah, misalnya saja mendapatkan IP di atas 3.5 ketika masuk informatika atau mengambil 24 SKS sekaligus. Hal kecil bukan? Namun tidak pernah bisa aku raih sampai sekarang.

2. Ntahlah, yang ini pun aneh. Kemampuan pengobatan yang dimilikinya, terutama dalam hal bekam menjadi inspirasi bagiku. Aku banyak menemukan manusia multitalented yang bisa berbahasa inggris dengan baik sambil bermain alat musik atau melantukan puisi dengan sangat piawai dengan kemampuan manajerial yang luar biasa. Tapi seseorang yang tidak bisa mengatur waktu tidurnya, introvert, namun bisa bekam? Terus terang aku baru liat, dan justru – ntahlah – hal inilah yang menjadi inspirasi bagiku.

3. Aku melihat sosok yang taat beragama – dalam hal ibadah sunnah – memiliki ketenangan yang tinggi dalam menghadapi sebuah polemik masalah dinniyah. Sosok manusia taat beragama ketika aku SMA jauh berbeda dengan sosok yang satu ini. Mereka koleris, memimpin, dan memecahkan. Berbeda dengan saudaraku ini : phlegmatis, membawa, dan tidak pernah memecahkan. Tapi itulah yang membawa kami memecahkan masalah yang tidak pernah berusaha kami pecahkan itu. Aneh, akupun tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

4. Kawan, dulu aku paling membenci ekstrakurikuler beladiri. Tapi aku terinspirasi dari temanku ini, ternyata bela diri menyenangkan juga yak. Setidaknya untuk menambah kepercayaan diri di luar sana. Hahahaha

Ada beberapa hal yang sebenernya aku dapatkan dari potongan hidup aku yang bisa kubilang aneh ini :

1. Setiap orang bisa menjadi inspirasi bagi yang lain. Tergantung bagaimana seseorang memandang orang lain, dan dengan cara apa. Toh akhirnya kategori “inspirator” bagiku sekarang bukan lagi orang sekelas SBY, Taufik Effendi, atau Mario Teguh, tapi seorang sahabat (yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri) yang bahkan tidak bisa mengatur waktu tidurnya sendiri. Aneh kan? Bagiku aneh kawan, sangat aneh.

2. Manusia itu memang dicipttakan untuk saling memberikan inspirasi bagi orang lain sepertinya. Lalu kenapakah kita masih egois menganggap kita yang paling benar? Atau menjadi sangat egois tidak ingin membantu rekan kita yang lain? Aku malam ini bercakap2 dengan seseorang yang bersikeras bahwa kebenaran argumentasi agama tidak pernah bisa ditempuh dengan jalan diskusi. Aneh.....

Kawan, aku tidak bermaksud menyindir siapapun di sini, atau bermaksud membicarakan aib salah seorang dari kalian. Sebaliknya, aku hanya ingin mengatakan bahwa salah seorang dari kalian justru menjadi inspirasi bagi hidupku, hidup yang separuhnya telah dewasa di sebuah kota kecil bernama Magelang. Ternyata aku menemukan ada satu sisi dalam hidupku ini yang masih belum dewasa : kedewasaan untuk dapat meraih hal-hal kecilKenapa sisi ini belum dewasa? Karena ternyata selama ini hal-hal besar yang kuraih tidak melalui proses pencapaian hal yang kecil ini. Wow.....

Ditunggu komen dan diskusinya. Wkwkwkwk

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hemh..kuliah di bandung, TI-ITB, young and full of dream - what else better than that?! - Salam kenal